Parodi: Budaya Kemiskinan
KENAIKAN gaji Presiden dan para menteri kabinet baru ini mestinya tak perlu dicemburui, terutama jika hasilnya cuma akan memperjelas budaya kemiskinan bangsa ini. Penjelasannya begini: ada kemiskinan objektif, ada kemiskinan subjektif. Kemiskinan pertama saja belum dirampungkan karena setiap daerah memiliki batasan kemiskinannya sendiri-sendiri. Jika yang objektif saja sulit, apalagi kemiskinan subjektif, yang setiap orang bisa membuat definisinya sendiri. Karena itulah ada kemiskinan sebagai definisi, ada kemiskinan sebagai kenyataan. Ada yang benar-benar miskin, ada yang sekadar mengaku miskin. Itulah kenapa kemiskinan pun masih harus terbagi lagi: ada kemiskinan material, ada kemiskinan mental, ada kemiskinan struktural. Jika cuma untuk sebuah definisi saja seruwet ini, betapa repot mengurus kemiskinan. Membuat definisinya saja tak pernah bisa rampung, apalagi mengatasi kemiskinannya.
Tapi keruwetan itu sebetulnya hanya terjadi di tingkat ilmu sosiologi. Di dalam kenyataan ia adalah soal yang sederhana. Karena apa pun jenis kemiskinannya, akan bermuara di ujung yang sama: kelaparan. Ada lapar perut, ada lapar jiwa, ada lapar perut sekaligus jiwanya. Gabungan dari ketiganya itulah yang menimbulkan budaya kemiskinan. Itulah budaya yang kemudian menimbulkan rasa lapar permanen dan tak cuma bersemayam di dalam perut, tetapi juga di dalam benak. Benak seorang yang dipenuhi oleh pikiran miskin itulah keadaan yang harus dihindari. Jika yang disebut sesorang itu ternyata banyak sekali, mental miskin itu akhirnya akan menjadi tradisi.
Padahal kata Kahlil Gibran: ’’Bagi orang yang lapar, sebuah nyanyian akan didengar lewat perutnya.’’ Mendengar, melihat, dan merasa dari sudut pandang lapar itu sungguh keadaan yang berbahaya, karena marah dan curiga akan menjadi ujung tombaknya. Akan banyak jatuh korban dari keadaan ini di antaranya adalah produktivitas publik. Kenapa? Karena publik merasa mendapat pembenaran untuk tidak terlibat dalam urusan negara. Jika patuh ia adalah kepatuhan terpaksa, jika mungkin publik akan melakukan sabotase terbuka, jika tidak, publik akan melakukan pembangkangan diam. Diam tetapi membangkang, setuju tapi melawan, tersenyum tapi mengumpat di kedalaman. Masyarakat akan dilanda krisis inisiatif dan negara akan menderita kelumpuhan produksi.
Inilah kenapa produktivitas di Indonesia terkenal rendah sekali. Banyaknya program tidak berarti banyaknya kerja. Banyaknya organisasi tidak otomatis banyaknya gerakan. Organisasi hanya penuh posisi dan jabatan tetapi keramaiannya hanya di tingkat penyusunan panitia. Jabatan bisa banyak sekali tetapi pekerjaan bisa tak ada sama sekali. Itulah kenapa rangkap jabatan adalah soal yang mudah terjadi, karena perangkapan itu tak selalu berarti kesibukan. Seseorang jadi mungkin menjabat di mana-mana karena yang dikerjakan tidak ada.
Budaya kemiskinan ini juga melatih seseorangg untuk sibuk mudah mencemburi apa saja dan menatap kekayaan pihak lain dengan mata terpana. Kepada almarhum Mbah Surip, misalnya, yang digegerkan bisa lebih soal berapa royalti ringtone-nya (yang ternyata tak seberapa). Mengurus soal royalti orang lain dianggap lebih mengasyikkan ketimbang mempertimbangkan seorang Rendra, pribadi yang telah menggadaikan seluruh hidupnya bagi kebudayaan, yang meninggal hampir pada saat sama.
Budaya kemiskinan itu hasil kebiasaan, maka budaya kekayaan juga bisa dihasilkan lewat latihan, bahkan dengan metode sederhana. Salah satunya adalah dengan melakukan rekreasi sudut pandang. Misalnya: melihat orang korupsi saja kita ini kuat, apalagi sekadar melihat pejabat naik gaji. Makmurkan negara ini, maka gaji itu akan kita usulkan naik lagi pada tahun depan. Mentalitas kaya penting dibiasakan karena negara yang memiliki banyak epos, tenyata jauh lebih mudah menjadi juara ketimbang negara yang dibesarkan oleh aneka dongeng melodrama seperti sinetron dan telenovela.
Sumber : suaramerdeka
Tapi keruwetan itu sebetulnya hanya terjadi di tingkat ilmu sosiologi. Di dalam kenyataan ia adalah soal yang sederhana. Karena apa pun jenis kemiskinannya, akan bermuara di ujung yang sama: kelaparan. Ada lapar perut, ada lapar jiwa, ada lapar perut sekaligus jiwanya. Gabungan dari ketiganya itulah yang menimbulkan budaya kemiskinan. Itulah budaya yang kemudian menimbulkan rasa lapar permanen dan tak cuma bersemayam di dalam perut, tetapi juga di dalam benak. Benak seorang yang dipenuhi oleh pikiran miskin itulah keadaan yang harus dihindari. Jika yang disebut sesorang itu ternyata banyak sekali, mental miskin itu akhirnya akan menjadi tradisi.
Padahal kata Kahlil Gibran: ’’Bagi orang yang lapar, sebuah nyanyian akan didengar lewat perutnya.’’ Mendengar, melihat, dan merasa dari sudut pandang lapar itu sungguh keadaan yang berbahaya, karena marah dan curiga akan menjadi ujung tombaknya. Akan banyak jatuh korban dari keadaan ini di antaranya adalah produktivitas publik. Kenapa? Karena publik merasa mendapat pembenaran untuk tidak terlibat dalam urusan negara. Jika patuh ia adalah kepatuhan terpaksa, jika mungkin publik akan melakukan sabotase terbuka, jika tidak, publik akan melakukan pembangkangan diam. Diam tetapi membangkang, setuju tapi melawan, tersenyum tapi mengumpat di kedalaman. Masyarakat akan dilanda krisis inisiatif dan negara akan menderita kelumpuhan produksi.
Inilah kenapa produktivitas di Indonesia terkenal rendah sekali. Banyaknya program tidak berarti banyaknya kerja. Banyaknya organisasi tidak otomatis banyaknya gerakan. Organisasi hanya penuh posisi dan jabatan tetapi keramaiannya hanya di tingkat penyusunan panitia. Jabatan bisa banyak sekali tetapi pekerjaan bisa tak ada sama sekali. Itulah kenapa rangkap jabatan adalah soal yang mudah terjadi, karena perangkapan itu tak selalu berarti kesibukan. Seseorang jadi mungkin menjabat di mana-mana karena yang dikerjakan tidak ada.
Budaya kemiskinan ini juga melatih seseorangg untuk sibuk mudah mencemburi apa saja dan menatap kekayaan pihak lain dengan mata terpana. Kepada almarhum Mbah Surip, misalnya, yang digegerkan bisa lebih soal berapa royalti ringtone-nya (yang ternyata tak seberapa). Mengurus soal royalti orang lain dianggap lebih mengasyikkan ketimbang mempertimbangkan seorang Rendra, pribadi yang telah menggadaikan seluruh hidupnya bagi kebudayaan, yang meninggal hampir pada saat sama.
Budaya kemiskinan itu hasil kebiasaan, maka budaya kekayaan juga bisa dihasilkan lewat latihan, bahkan dengan metode sederhana. Salah satunya adalah dengan melakukan rekreasi sudut pandang. Misalnya: melihat orang korupsi saja kita ini kuat, apalagi sekadar melihat pejabat naik gaji. Makmurkan negara ini, maka gaji itu akan kita usulkan naik lagi pada tahun depan. Mentalitas kaya penting dibiasakan karena negara yang memiliki banyak epos, tenyata jauh lebih mudah menjadi juara ketimbang negara yang dibesarkan oleh aneka dongeng melodrama seperti sinetron dan telenovela.
Sumber : suaramerdeka
0 Response to "Parodi: Budaya Kemiskinan"
Post a Comment